Ringkasan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020
Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)
mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai
lembaga masyarakat maupun
institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua Provinsi di
Indonesia, serta pengaduan
langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan melalui Unit
Pengaduan Rujukan (UPR) maupun
melalui email resmi Komnas Perempuan, dalam kurun
waktu satu tahun ke belakang.
Tahun 2020 Komnas perempuan
mengirimkan 672 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di
seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 35%, yaitu 239
formulir.
Tahun 2020 Komnas perempuan
mengirimkan 757 lembar formulir kepada Lembaga- lembaga mitranya (Komnas
Perempuan) diseluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian 16%, yaitu
120 formulir yang ini sangat berdampak pada data kasus yang dikompilasi.
Tingkat respon pengembalian kuesioner tahun ini turun sekitar 50% dikarenakan kondisi
pandemik COVID-19 yang memaksa penyesuaian pada sistem kerja layanan dan
memerlukan waktu untuk beradaptasi.
Dampaknya adalah turunnya jumlah
kasus yang dilaporkan pada tahun 2020 sebesar 31%. Namun demikian, turunnya
jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan
terhadap perempuan.
Metode yang digunakan Komnas
Perempuan dengan beberapa cara:
1. Bekerja sama dengan pemerintah yang telah
memiliki mekanisme membangun dan mengolah data dari seluruh Provinsi di
Indonesia, yaitu Badan Peradilan Agama (BADILAG).
2. Pada
tahun ini Komnas Perempuan mengirimkan formulir kuesioner dalam dua format
yaitu google form dan dalam format word. Formulir ini perlu diisi oleh
lembaga-lembaga yang menangani perempuan korban kekerasan baik pemerintah
maupun organisasi masyarakat sipil.
3. Mengolah
data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan dari Unit Pengaduan dan Rujukan
maupun dari surel.
4. Menyajikan
tambahan data dari mitra berdasarkan kelompok perempuan rentan yaitu kekerasan
terhadap komunitas minoritas seksual, perempuan dengan disabilitas, perempuan
dengan HIV, serta perempuan pembela HAM (Women Human Rights Defender disingkat
WHRD) dan tambahan data kekerasan berbasis gender siber
Jumlah Perempuan Korban Kekerasan
Tahun 2020
Tahun 2020 angka kekerasan
terhadap perempuan mengalami penurunan sekitar 31,5% dari tahun sebelumnya.
Yang penting menjadi menjadi catatan adalah, penurunan jumlah kasus pada tahun
2020 (299.911 kasus terdiri dari 291.677 kasus di Pengadilan Agama dan 8.234
kasus berasal dari data kuesioner Lembaga pengada layanan) daripada tahun
sebelumnya (431.471 kasus – 416.752 kasus di pengadilan agama dan 14.719 data
kuesioner), bukan berarti jumlah kasus menurun.
Yang dimaksud penurunan jumlah
kasus dikarenakan
1. korban dekat dengan pelaku selama masa pandemik
(PSBB)
2. korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam
3. persoalan literasi teknologi
4. model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi
pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online). Sebagai contoh
karena pandemik, pengadilan agama membatasi layanan nya dan proses persidangan
(hal ini menyebabkan angka perceraian turun 125.075 kasus dari tahun lalu).
Penurunan
signifikan angka kasus yang dapat dicatatkan pada CATAHU 2020 lebih
merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan
terhadap perempuan di masa pandemi yang cenderung meningkat. Sebanyak 299.911
kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang dari 431.471 kasus di
tahun 2019.
Sementara
kuesioner yang dikembalikan menurun hampir 50 persen dari tahun sebelumnya, sebagian
besar yang mengisi adalah lembaga yang berlokasi di Pulau Jawa dengan dukungan
infrastruktur yang relatif lebih memadai. Namun sebanyak 34% lembaga yang
mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus
di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan
drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020.
Juga karena Komnas Perempuan
mengubah layanan menjadi online, sebagaimana dilakukan oleh lembaga layanan
oleh pemerintah dan juga sebagian besar lembaga layanan berbasis masyarakat.
Di tengah-tengah pandemi, juga
diamati bertumbuhnya support group komunitas untuk para korban kekerasan
seksual. Dukungan dari komunitas sangat penting bagi korban termasuk para
korban kekerasan seksual. Dukungan ini menciptakan daya resiliensi korban
sehingga menjadi berdaya dan merasa tidak sendirian.
Komentar
Posting Komentar